BLU: Bukan Korporasi Tapi Memberi Kontribusi Demi Pelayanan Yang Bernilai
- Admin
- Jan 30, 2018
- 5 min read
Updated: Feb 2, 2018

Badan Layanan Umum dibentuk sebagai pengejawantahan teori agensifikasi, yang secara umum berarti adanya pemisahan antara fungsi kebijakan (regulator) dengan fungsi pelayanan publik dalam struktur organisasi pemerintah. Fungsi pertama dilakukan oleh kantor pusat kebijakan sedangkan yang kedua adalah kantor-kantor yang melaksanakan tugas pelayanan. Menurut teori tersebut, idealnya Menteri/Pimpinan Lembaga memberi mandat dalam sebuah bentuk kontrak kinerja kepada kepala eksekutif badan pelayanan umum dalam melaksanakan satu program atau beberapa program sejenis yang akan dikelola secara professional. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah/PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum secara explisit menjelaskan, BLU tidak hanya sebagai format baru dalam pengelolaan keuangan Negara namun juga sebagai wadah baru bagi pembaruan manajemen keuangan sektor publik (public sector reform in financial managements). Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana strategi pemerintah pusat dalam mereformasi organisasi sektor publik melalui pembentukan Badan Layanan Umum serta tantangan dan isu-isu strategisnya.
Maksud Pembentukan Badan Layanan Umum
Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas (Pasal 1 ayat 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Selanjutnya pasal 68 ayat (1) menyatakan tujuan pembentukan BLU yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain pemerintah ingin menjadikan BLU sebagai organisasi yang costumer-oriented, not-for-profit oriented dan outcome-oriented. Costomer oriented adalah suatu organisasi yang peka atas kebutuhan pelanggan sehingga produk dan atau jasa yang dijual selalu ditujukan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Organisasi not-for-profit-oriented yaitu organisasi yang dikelola bukan dalam rangka mencari laba dimana pendapatan yang diperoleh semata-mata untuk peningkatan mutu pelayanan sehingga bermanfaat bagi pengguna akhir layanan. Sedangkan outcome-oritentedadalah suatu pengelolaan organisasi yang dikelola yang lebih mengutamakan pencapaian hasil yang diharapkan. Secara konsep, pembentukan BLU telah dilandasi prinsip yang tepat untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fitur-fitur BLU
Beberapa fitur unik BLU yang membedakannya dari satuan kerja instansi pemerintah adalah: Pertama, aspek pengelolaan keuangan, dimana pemerintah pusat secara khusus mengatur pola pengelolaan keuangan BLU. Asas utama pengelolaan keuangan BLU ialah (a) fleksibilitas, dimana BLU diharapkan menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat (best practice) dalam penyelenggaraan fungsi organisasi. Lebih jauh, BLU dapat memungut biaya atas bisnisnya kepada pengguna layanan; (b) BLU dikelola dengan memperhitungkan efisiensi biaya dalam setiap kegitan operasionalnya. Artinya, BLU wajib melakukan perhitungan akuntansi biaya atas setiap unit produk yang dihasilkan; (c) BLU dikelola untuk meningkatkan layanan yang bermutu sebagai sumber pendapatan operasional. Ketiga prinsip utama tersebut didukung dengan pendelegasian wewenang yang luas melalui paradigma ‘let the managers manage’. Dengan privilese tersebut, diharapkan para manajer BLU dengan diskresinya mampu mengelola sumber-sumber daya baik keuangan maupun non-keuangan secara sinergi untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Aspek kedua ialah aspek manajemen organisasi, dimana BLU dalam melaksanakan praktek-praktek bisnis yang sehat perlu melakukan pengelolaan dan pengukuran kinerja. Semua output kinerja BLU perlu diukur untuk melihat bagaimana organisasi telah bekerja dalam mencapai targetnya. Selain itu, pengelolaan BLU dilakukan secara professional melalui alat pengedalian managemen meskipun bisnisnya tidak mengutamakan mencari keuntungan. Sehingga dalam hal ini sangat diharapkan BLU mengadopsi alat perencanaan management yang diterapkan oleh sektor swasta dalam mengelola kinerjanya dalam pengukuran kinerja yang lebih komprehensif. Dengan pengelolaan kinerja yang komprehensif, selain meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan kompetensi utama para pegawainya, BLU juga akan mampu mencapai sasaran jangka pendek dan dapat bersaing untuk mencapai tujuan jangka panjangnya. Sehingga dalam hal ini, kepala eksekutif BLU perlu memiliki tingkat manajerial yang tinggi yang bertanggung jawab atas pencapain hasil yang tertuang dalam kontrak kinerja.
Aspek ketiga, penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting) yaitu BLU diharapkan menjadi prototype satuan kerja instansi pemerintah lainnya dengan model rencana bisnis anggaran yang dilaksanakan dalam proses penganggaran dan pelaksanaan anggaran. Hal ini didasari pemikiran bahwa BLU akan mampu mendefinisikan visi dan misi organisasi ke dalam sasaran dan tujuan organisasi yang akan dicapai dalam target kinerjanya. Sehingga dalam melakukan penganggaran, BLU dapat lebih baik dalam menghubungkan jumlah anggaran yang akan dialokasikan untuk mencapai target sasaran yang akan dicapai. Selain itu dalam proses penganggaran, BLU perlu menyediakan informasi kinerja sebagai salah satu penilaian dalam penetapan program BLU pada tahun berikutnya yang akan dijadikan dasar penilaian oleh penyedia anggaran. Dengan adanya informasi kinerja (performance information) yang lengkap diharapkan penetapan anggaran akan lebih rasional.
Tantangan BLU
Untuk menjadi BLU yang memiliki kontribusi kepada keuangan Negara serta menyediakan pelayanan yang bermutu, BLU dihadapkan pada beberapa tantangan berikut. Pertama, perlu dilakukan peningkatan kemampuan manajerial para pimpinan eksekutif BLU agar mampu membawa BLU menjadi organisasi sektor publik dengan kinerja sektor swasta. Hal ini sangat penting mengingat adanya perubahan budaya kerja dari yang sebelumnya sebagai administrator menjadi manajer. Profesi yang pertama lebih mengutamakan ketaatan pada aturan dan prosedur kerja (process oriented) sementara yang kedua mengutamakan pencapaian hasil (outcome oriented) dengan skill dan kepemimpinan yang mumpuni. Peran kepemimpinan menjadi sangat penting untuk mengkomunikasikan sasaran dan tujuan organisasi kepada seluruh anggota agar semua elemen organisasi dapat bersinergi secara aktif dalam pencapaian tujuan organisasi. Dengan budaya kinerja, para manajer tidak lagi menunggu perintah dari atasan karena semua urusan teknis operasional organisasi adalah merupakan tanggung jawab pribadinya. Dengan kata lain, akuntabilitas seorang manajer diukur dari seberapa cakap dia memimpin organisasi dalam memenuhi target yang ditetapkan.
Di satu sisi, diskresi yang diberikan dapat menjadi sebuah dilema bagi eksistensi BLU. Apabila manager memiliki integritas yang tinggi, maka dia akan mampu menggerakkan mesin organisasi dan mengelola sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang diharapkan, namun jika sebaliknya pemimpin BLU memanfaatkan kekuasaanya untuk kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu, maka kemungkinan besar organisasi BLU tidak jauh berbeda dengan organisasi birokratif dan hierarkis yang lambat dalam pengambilan keputusan tanpa inovasi dan kreativitas. Oleh karena itu, kementerian terkait perlu menetapkan sistem pengendalian yang tepat agar para manager bekerja pada koridor yang diharapkan.
Kemudian terdapat beberapa isu strategis yang perlu dikelola dalam penyempurnaan kelembagaan. Yang pertama nomenklatur kelembagaan BLU perlu ditetapkan lebih jelas posisinya agar tidak terjadi kebingungan dan kesalahpahaman baik oleh masyarakat sebagai pengguna layanan maupun oleh para stakeholder yang terkait dalam pembinaan BLU. Tanpa identitas yang jelas, BLU akan terperangkap dengan sistem pengelolaan yang birokratis, hierarkis dan lambat serta jauh dari aspek professionalitas. Konsekuensinya, BLU akan terpengaruh dengan politik organisasi yang biasanya mewabah dalam organisasi pemerintah sehingga secara langsung akan mempengaruhi kelincahan (agility) manajemen BLU. Dalam hal ini, kementerian terkait perlu melepaskan ke-egoannya sehingga rela memberikan kewenangan yang lebih luas dan proporsional bagi para manajer BLU. Apabila isu-isu dimaksud tidak dapat ditangani secara arif, pelayanan publik yang bernilai tinggi akan sangat sulit dicapai. Yang kedua, perlunya pengaturan kompensasi atas kinerja BLU dalam bentuk remunerasi yang tepat sesuai dengan keahlian dan resiko yang ditanggung. Karena secara akal sehat, tidak mungkin mengharapkan individu bekerja secara profesional tanpa memberi kompensasi yang sesuai dengan tingkat keahliannya.

Penutup
Sejauh apa visi yang ditetapkan atas pembentukan BLU sangat menentukan sejauh mana kiprah penyedia layanan ini di masa mendatang. Jika pembuat kebijakan menganggap bahwa BLU tidak jauh berbeda dengan satuan kerja instansi pemerintah pada umumnya, maka akan sejauh itulah pula lah kemampuan kinerja BLU di masa depan. Namun jika para pembuat kebijakan mempunyai keyakinan akan suatu pelayanan publik yang bernilai tanpa komersialisasi pelayanan, maka BLU harus diberdayakan agar sesuai dengan posisinya sebagai badan yang independen namun tidak terlepas dan menjadi bagian integral dari kementerian terkait. BLU tidak hanya sebatas satuan kerja yang diberi kewenangan dalam memungut biaya atas pelayanannya, atau sebagai instrumen pemerintah yang tugasnya ditekankan pada peningkatan pendapatan negara, namun sebagai penyedia layanan umum yang berkontribusi bagi peningkatan pelayanan bernilai tinggi.
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/blu-bukan-korporasi-tapi-memberi-kontribusi-demi-pelayanan-yang-bernilai/
Comments